Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara kita belajar. Sebelum pandemi, pembelajaran tatap muka adalah metode yang dominan di banyak negara, tetapi situasi darurat yang memaksa sekolah dan universitas untuk menutup pintu mereka, membawa perubahan besar dalam cara pendidikan dijalankan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang semula hanya digunakan di beberapa daerah atau dalam konteks khusus, kini menjadi hal yang sangat umum. Meskipun tantangan besar muncul, transisi ini juga membawa peluang bagi transformasi pendidikan menuju era digital yang lebih fleksibel dan inovatif.

Salah satu perubahan terbesar adalah adopsi teknologi digital dalam pembelajaran. Platform pembelajaran daring seperti Zoom, Google Classroom, Microsoft Teams, dan berbagai aplikasi lainnya telah menjadi bagian integral dalam proses belajar mengajar. Di masa pandemi, hampir semua institusi pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas, mengandalkan teknologi ini untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran yang sebelumnya bergantung pada interaksi fisik kini menjadi lebih fleksibel, di mana siswa dan guru dapat terhubung dari mana saja dan kapan saja. Meski awalnya banyak yang menghadapi kesulitan dalam adaptasi, pada akhirnya teknologi ini membuka kemungkinan baru dalam pendidikan global, memungkinkan siswa dari berbagai negara untuk belajar bersama tanpa batasan geografis.

Namun, di balik manfaat teknologi dalam pendidikan, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Salah satu masalah utama yang muncul selama pandemi adalah ketimpangan akses terhadap perangkat dan koneksi internet. Banyak siswa di daerah terpencil atau dengan latar belakang ekonomi yang kurang mampu tidak memiliki akses yang memadai ke perangkat digital atau koneksi internet yang stabil. Hal ini menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin lebar antara kelompok masyarakat yang lebih kaya dan yang lebih miskin. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya kebijakan yang mendukung distribusi teknologi yang merata, baik melalui bantuan perangkat atau peningkatan infrastruktur internet di daerah-daerah yang belum terjangkau.

Selain itu, transisi ke pembelajaran daring juga mengubah peran guru dalam proses pendidikan. Sebelumnya, guru lebih banyak melakukan interaksi tatap muka dengan siswa, memberikan materi secara langsung, dan memfasilitasi diskusi kelompok. Dalam sistem pembelajaran digital, peran guru bergeser menjadi lebih sebagai fasilitator dan mentor, yang lebih banyak memberikan bimbingan, mengelola materi pembelajaran melalui platform digital, dan memastikan keterlibatan siswa dalam kelas virtual. Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas, tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan keterlibatan siswa. Banyak siswa merasa lebih mudah teralihkan dalam pembelajaran daring, yang mengurangi efektivitas pengajaran.

Selain itu, sistem pembelajaran pascapandemi ini juga memunculkan perubahan dalam kurikulum dan metode evaluasi. Metode ujian MIMPI 44 yang lebih tradisional kini banyak digantikan dengan penilaian berbasis proyek, kuis daring, dan evaluasi mandiri yang memungkinkan siswa menunjukkan pemahaman mereka melalui berbagai format selain ujian akhir. Hal ini mendorong penerapan pembelajaran yang lebih berbasis pada kompetensi daripada hanya menghafal informasi. Pembelajaran berbasis proyek ini juga mendorong siswa untuk lebih aktif mencari informasi, bekerja sama dengan teman-teman sekelasnya, dan mengembangkan keterampilan abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, dan pemecahan masalah.

Sebagai respons terhadap pandemi, banyak institusi pendidikan juga mulai mengintegrasikan lebih banyak pembelajaran berbasis teknologi dalam kurikulum mereka. Dengan adanya aplikasi mobile, platform virtual, dan penggunaan media sosial, proses belajar mengajar tidak hanya terbatas pada materi pelajaran, tetapi juga melibatkan pendekatan yang lebih interaktif dan kolaboratif. Misalnya, penggunaan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) dalam pembelajaran sains, sejarah, atau seni dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam dan menarik bagi siswa. Hal ini membuka kemungkinan bagi siswa untuk belajar secara lebih immersif dan langsung mengaplikasikan teori dalam praktik.